Rabu, 29 Februari 2012

Kufur Kecil

Kufur Kecil

Tidak Boleh Menimbun Barang


Ekonomi Syari'ah
dakwatuna.com - Bukan sekali dua kali masyarakat kita mengalami kelangkaan barang. Ada banyak sebab barang-barang yang kita butuh tiba-tiba hilang dari pasar. Jikapun ada, harganya selangit. Salah satu penyebab kelangkaan barang adalah para pedagang menimbun barang dengan harapan harga akan naik. Ketika harga naik itulah, mereka akan mendapat untung berlipat dari penjualan barang yang sebelumnya telah mereka timbun.
Bagaimana Islam memandang masalah ini?
Menimbun barang dalam bahasa Arab sepadan dengan “al-ihtikar”. Kata ini bermakna azh-zhulm (aniaya) dan isaa’ah al-mu’aasyirah (merusak pergaulan).
Ada beberapa definisi yang diberikan oleh ulama tentang ihtikar. Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani mendefinisikan, “Penimbunan barang dagangan dari peredarannya.” Imam Ghazali mendefinisikan, “Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak.” Sementara para ulama Mazhab Maliki mendefinisikan dengan, “penyimpanan barang oleh produsen: baik makananm pakaian, dan segala barang yang bisa merusak pasar.”
Secara esensi ketiga definisi di atas sama, yaitu menyebut aktivitas menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dengan tujuan menjualnya ketika harga telah melonjak, barang itu baru dipasarkan. Namun, mengenai jenis barang yang ditimbun beda.
Ulama Mazhab Maliki, sebagian ulama Mazhab Hanbali, Imam Abu Yusuf dan Ibnu Abidin (dua nama terakhir adalah ahli fiqh dari Mazhab Hanafi) menyatakan larangan menimbun tidak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan. Tetapi meliputi seluruh barang yang dibutuhkan masyarakat. Alasannya, yang menjadi ilat (motivasi hukum) dalam larangan melakukan penimbunan adalah “kemudharatan yang menimpa orang banyak”. Sebab, kemudharatan yang menimpa orang banyak itu tidak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan, tetapi juga mencakup seluruh barang yang dibutuhkan orang.
Imam Asy-Syaukani juga tidak memerinci barang apa saja yang ditimbun, sehingga seseorang bisa dikatakan sebagai penimbun jika menyimpan barang untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan, Imam Asy-Syaukani tidak membedakan apakah penimbun itu terjadi ketika pasar berada dalam keadaan normal ataupun dalam keadaan tidak stabil. Hal ini perlu dibedakan karena menurut jumhur ulama jika sikap para pedagang dalam menyimpan barang tersebut bukan untuk merusak harga pasar, tentu tidak ada larangan. Maklum, Imam Asy-Saukani termasuk kelompok ulama yang mengharamkan penimbunan pada seluruh barang yang dibutuhkan masyarakat.
Sebagian ulama Mazhab Hanbali dan Imam Al-Ghazali mengkhususkan keharaman penimbuna pada jenis produk makanan saja. Alasannya, karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan. Menurut mereka, karena masalah ihtikar menyangkut kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya dan kebutuhan orang banyak, maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nash saja. Adapun ulama dari kalangan Mazhab Syafi’i dan Hanafi membatasi ihtikar pada komoditas yang berupa makanan bagi manusia dan hewan. Menurut mereka, komoditas yang terkait dengan kebutuhan orang banyak pada umumnya hanya dua jenis itu. Oleh karena itu, perlu dibatasi.
Dari paparan di atas, bisa kita simpulkan bahwa ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat, atau jasa, dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat, negara maupun hewan amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut. Ihtikar tidak saja menyangkut komoditas, tapi juga manfaat suatu komoditas, dan bahkan jasa dari para pemberi jasa; dengan syarat “embargo” yang dilakukan para pedagang atau pemberi jasa itu bisa membuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, dan jasa tersebut dibutuhkan oleh masyarakat, negara, dan lain-lain.
Misalnya, pedagang gula pasir di awal bulan Ramadhan tidak mau menjual barang dagangannya karena mengetahui bahwa pada pekan terakhir bulan Ramadhan masyarakat sangat membutuhkan gula untuk menghadapi lebaran. Dengan sedikitnya stok gula di pasar, harga gula melonjak. Ketika itulah para pedagang gula melepas stoknya ke pasar dan mereka mendapat keuntungan yang tinggi.
Dasar hukum pelarangan menimbun barang adalah hasil induksi dari nilai-nilai universal yang dikandung Al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya diharamkan. “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. Al-Maidah (5): 2]. “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. Al-Haj (22): 78]. “Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” [QS. Al-Maidah (5): 6]. “Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” [QS. Al-Baqarah (2): 279].
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat.” (HR. At-Tabrani dai ma’qil bin Yasar).
Rasulullah saw. berkata, “Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Rasulullah saw. bersabda, “Para pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan dengan)-nya.” (HR. Ibnu Umar).
Berdasarkan ayat-ayat dan hadits di atas, para ulama sepakat bahwa ihtikar adalah perbuatan terlarang (haram). Namun, berbeda cara menetapkan hukumnya. Ulama Mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Maliki menggunakan ayat dan hadits di atas untuk menetapkan ihtikar sebagai perbuatan yang haram.
Menurut kalangan Mazhab Maliki, ihtikar hukumnya haram dan harus dicegah oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara. Karena itu, pemerintah harus turun tangan untuk mengatasinya. Ini sesuai dengan kaidah fiqh: haqq al-ghair muhaafazun ‘alaihi syar’an (hak orang lain terpelihara secara syara’). Dalam kasus ihtikar, yang paling utama dipelihara adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak; sedangkan hak orang yang melakukan penimbunan hanya merupakan hak pribadi. Jika kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan adalah kepentingan orang banyak.
Ulama Syafi’i berpendapat bahwa hadits yang menyatakan ihtikar merupakan perbuatan yang salah mengandung pengertian yang dalam. Orang yang melakukan kesalahan (khatha’a) dengan sengaja berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap syariat. Mengingkari syariat adalah hal yang diharamkan. Dengan demikian, perbuatan ihtikar termasuk salah salah satu perbuatan yang diharamkan, apabila dalam hadits itu pelakunya diancam dengan neraka.
Ulama Mazhab Hanbali juga mengatakan ihtikar diharamkan syariat karena membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara. Ibnu Qudamah mengemukakan alasan, ada sebuah hadits Rasulullah saw. yang melarang melakukan ihtikar dalam kebutuhan pokok manusia. (HR. Asram dari Abi Umamah).
Imam Al-Kasani (seorang ahli fiqh dari Mazhab Hanafi) berpendapat, ihtikar haram karena banyak hadits Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa pelaku ihtikar dilaknat dan orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja adalah orang yang melakukan sesuatu yang haram. Ia juga menyatakan, dalam masalah ihtikar terkandung dua kemaslahatan yang bertentangan, yaitu kemaslahatan pribadi pedagang dan kemaslahatan konsumen. Dilihat dari tujuan syariat dalam nenetapkan hukum, apabila terjadi pertentangan antara kepentingan orang banyak dan kepentingan pribadi, maka kepentingan orang banyak harus didahulukan. Oleh karena itu, dalam kasus ihtikar, demi memelihara kemaslahatan orang banyak, kepentingan pribadi harus dikorbankan, karena mendahulukan kepentingan pribadi dapat meresahkan masyarakat banyak.
Namun Mazhab Hanafi secara umum berpendapat, ihtikar hukumnya makruh tahrim. Makruh tahrim adalah istilah hukum haram dari kalangan usul fiqh Mazhab Hanafi yang didasarkan pada dalil zhanni (bersifat relatif). Dalam persoalan ihtikar, menurut mazhab ini, larangan secara tegas hanya muncul dari hadits-hadits yang bersifat ahad (hadits yang diriwayatkan satu, dua, atau tiga orang dan tidak sampai ke tingkat mutawatir). Adapun derajat hujah hadits ahad adalah zhanni. Sementara kaidah umum yang qath’i (pasti) adalah setiap orang bebas membeli dan menjual barang dagangannya tanpa campur tangan orang lain. Menjual barang atau tidak adalah masalah pribadi seseorang.
Ulama Mazhab Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan hukum ihtikar karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai kehendak mereka; dan adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk apa pun.
Larangan di sini tidak langsung tertuju pada perbuatan ihtikar, melainkan larangan itu muncul disebabkan mudharat yang ditimbulkan tindakan tersebut. Menurut mereka, mudharat itu bisa dihilangkan karena bisa saja dilakukan jual beli yang sama sekali tidak mengandung mudharat. Oleh karena itu, perbuatan ihtikar dengan alasan yang melarangnya tidak menyatu. Di samping itu, seperti dijelaskan di atas, larangan ihtikar dari hadits ahad.
Namun, jumhur ulama dalam menetapkan hukum haram tidak membedakan antara dalil yang zhanni dan qath’i. Apabila ada larangan dari nash (ayat dan hadits), baik sifatnya qath’i maupun zhanni, maka hukumnya haram.
Jadi, sekalipun hadits-hadits yang secara tegas melarang ihtikar seluruhnya ahad, tapi berdasarkan istiraa’ ulama terhadap hukum ihtikar dari berbagai ayat dan hadits, secara maknawi kekuatan dalilnya sudah qath’i. Di samping itu, dalam rangka siyasah syar’iyah (politik penetapan hukum) dinyatakan bahwa ‘kullu fi’lin fiil ashl masyruu’, yusbihu ghair masyruu’ idza addaa ilaa ma’aal al-mamnuu’ (setiap perbuatan pada dasarnya dibolehkan, hukumnya bisa jadi tidak boleh jika membawa kepada sesuatu yang dilarang). Dalam kasus ihtikar, pada dasarnya pemilik barang boleh menjual barangnya sesuai dengan keinginannya, tetapi akibat dari perbuatan ini orang banyak mendapat mudarat. Oleh karena itu, larangan berbuat ihtikar termasuk dalam kaidah di atas.
Para ulama yang melarang tindakan menimbun barang berpendapat, bila penimbunan barang telah terjadi di pasar, pemerintah berhak memaksa pedagang untuk menjual barang tersebut dengan harga standar yang berlaku di pasar. Bahkan, barang yang ditimbun dijual dengan harga modalnya dan pedagang yang menimbun tidak berhak untuk mengambil untung. Ini sebagai hukuman atas tindakan mereka. Jika pedagang yang menimbun dagangan enggan menjual barangnya sesuai dengan harga pasar, hakim berhak menyita barang mereka dan membagi-bagikannya kepada masyarakat yang membutuhkan.
Karena itu, pemerintah seharusnya sejak awal telah mengantisipasi agar tidak terjadi penimbunan barang, manfaat, dan jasa yang dibutuhkan oleh orang banyak. Pemerintah harus melakukan penetapan harga yang adil atas setiap barang yang menjadi hajat orang banyak. Harga yang adil itu didapat dengan mempertimbangkan modal dan keuntungan bagi pedagang serta tidak terlalu memberatkan masyarakat. Bahkan, pemerintah tidak boleh mengekspor barang kebutuhan warganya sampai tidak ada lagi yang dapat dikonsumsi warga, sehingga membawa mudharat bagi masyarakat. Pada hakikatnya pengeksporan barang yang dibutuhkan masyarakat sama dengan ihtikar dari segi akibat yang dirasakan oleh masyarakat. Pendapat ini didasarkan pada kaidah “tasharruf al-imaam ‘ala ar-ra’iyyah manuuthun bi al-maslahah” (tindakan penguasa harus senantiasa mengacu pada kemaslahatan orang banyak). (disadur dari Ensiklopedi Hukum Islam).


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/03/417/tidak-boleh-menimbun-barang/#ixzz1npy8eQZZ

Sejarah Penggunaan Uang di Dunia Islam


Ekonomi Syari'ah
dakwatuna.com – Dalam khazanah hukum Islam, terdapat beberapa istilah untuk menyebut uang; Dawud (1999, 3) dan Syabir (1999, 175) menyebutkan antara lain nuqud (bentuk jamak dari naqd), atsman (bentuk jamak dari tsaman). Dilihat dari sudut bahasa, menurut Al-Ashfahani (1961,82) atsman memiliki beberapa arti; antara lainqimah, yakni nilai sesuatu, dan “harga pembayaran barang yang dijual” yakni sesuatu dalam bentuk apa pun yang diterima oleh pihak penjual sebagai imbalan dari barang yang dijualnya; sedangkan dalam tataran fiqih, kata itu digunakan untuk menunjukkan uang emas dan perak; demikian juga fulus (bentuk jamak fals) Fulus digunakan untuk pengertian logam bukan emas dan perak yang dibuat dan berlaku di tengah-tengah masyarakat sebagai uang dan pembayaran, sikkah (bentuk jamaknya adalah sukak) dipakai untuk dua pengertian; pertama, stempel besi untuk mencap (mentera) mata uang, dan kedua, mata uang dinar dan dirham yang telah dicetak dan distempel, dan‘umlah yang memiliki dua pengertian; pertama, satuan mata uang yang berlaku di negara atau wilayah tertentu, misalnya ‘umlah yang berlaku di Yordania adalah Dinar dan di Indonesia adalah Rupiah; kedua, mata uang dalam arti umum sama dengan nuqud. Namun demikian, ulama fiqih pada umumnya lebih banyak menggunakan istilahnuqud dan tsaman dari pada istilah lainnya. Dalam tulisan ini, istilah yang sering digunakan adalah nuqud.
Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian nuqud. Al-Sayyid ’Ali (1967, 44) mengartikannya dengan “semua hal yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan transaksi, baik Dinar emas, Dirham perak maupun fulus tembaga.” Sementara Al-Kafrawi (1407, 12) mendefinisikannya dengan “segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai media pertukaran dan pengukur nilai”.
Sementara itu, Qal’ah Ji (1999, 23) mengemukakan definisi yang memberikan penekanan pada aspek legalitas di samping juga memperhatikan aspek fungsi sebagaimana definisi di atas. Ia mengatakan, “nuqud adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.” Atas dasar definisi ini ia berpendapat, seandainya masyarakat dalam melakukan transaksi menggunakan unta sebagai alat pembayaran, unta tersebut tidak dapat dipandang sebagai uang (nuqud) melainkan hanya sebagai badal (pengganti) atau ‘iwadh (imbalan). Hal itu karena sesuatu yang dipandang sebagai uang harus memenuhi sekurang-kurangnya dua syarat. Pertama, substansi benda tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan hanya sebagai media untuk memperoleh manfaat; dan kedua, dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan uang seperti bank sentral.
Walaupun di kalangan ulama cukup populer istilah nuqud untuk pengertian uang, ternyata kata itu tidak ditemukan di dalam al-Qur’an. Untuk menunjukkan uang atau fungsinya, al-Qur’an menggunakan beberapa istilah, antara lain “dirham”, “dinar”, “emas”, dan “perak”. Kata dirham hanya disebutkan satu kali, yaitu dalam QS. Yusuf (12) ayat 20: “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja…”. Dalam ayat ini selain dikemukakan dirham sebagai mata uang dan fungsinya sebagai alat pertukaran, disinggung juga bahwa penggunaan dirham di kalangan masyarakat saat itu berpatokan pada jumlah atau bilangan, bukan pada nilainya.
Sebagaimana dirham, kata dinar hanya disebutkan satu kali, yaitu dalam QS. Ali ‘Imran (3) ayat 75: “Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya…” Ayat ini, selain menyebutkan dinar sebagai satuan mata uang tertentu untuk pengukur nilai, mengisyaratkan pula bahwa uang adalah alat penyimpan nilai.
Mengenai kata emas dan perak cukup banyak ditemukan dalam al-Qur’an. Hal ini nampaknya disebabkan ketika al-Qur’an diturunkan masyarakat banyak menggunakan emas dan perak dalam melakukan kegiatan transaksi. Emas disebutkan pada delapan tempat; di antaranya QS. al-Taubah (9) ayat 34: “…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” Selain mengandung isyarat bahwa emas dan perak adalah satuan mata uang, alat pembayaran dan penyimpan nilai, ayat ini mengandung larangan penimbunan uang karena akan berakibat “mematikan” fungsinya sebagai sarana kegiatan ekonomi.
Ayat lain yang menyebutkan emas sebagai mata uang dan alat pertukaran adalah QS. Ali ‘Imran (3) ayat 91: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu…”.
Sementara itu, kata perak disebutkan enam kali dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah QS. Ali ‘Imran (3) ayat 14: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak…”; dan QS. al-Kahf (18) ayat 19: “…Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini…”. Dalam surat al-Kahf ini, kata perak tidak disebut dengan fidhdhah sebagaimana dalam ayat-ayat lain, tetapi dengan kata wariq, yaitu perak yang dicetak dan dijadikan uang.
Sejarah mencatat bahwa bangsa Arab pada masa Jahiliah telah melakukan kegiatan perdagangan dengan negara-negara tetangga di kawasan utara dan selatan. Hal itu tersirat dalam firman Allah SWT, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas” (QS. Quraisy [106]: 1-2). Ketika pulang mereka membawa uang Dinar Emas dan Dirham perak. Al-Balazdari menuturkan: Dinar Heraclius (Kaisar Byzantin) dan Dirham Baghli dari Persia telah masuk ke penduduk Mekah pada masa Jahiliah. Hanya saja, uang yang mereka gunakan untuk melakukan transaksi jual beli tersebut pada umumnya masih dalam bentuk tibr (butiran, belum dicetak sebagai mata uang). Selain uang, dalam melakukan transaksi mereka menggunakan beberapa macam timbangan seperti mitsqal. 1 (satu) mitsqal berbobot 21 3/7 qirath, dan bobot 10 dirham adalah 7 mitsqal. Bangsa Quraisy menimbang perak dengan timbangan yang disebut dirham dan menimbang emas dengan timbangan yang disebut dinar. Setiap 10 timbangan dirham sama dengan 7 timbangan dinar. Timbangan lainnya adalah sya’irah yang bobotnya sama dengan 1/60 (satu perenampuluh) timbangan dirham; uqiyah adalah 40 dirham; dan nuwat adalah berbobot lima dirham. Mereka melakukan transaksi dengan timbangan-timbangan tersebut dalam bentuk tibr.
Hal senada dikemukakan oleh Al-Maqrizi. Ia menuturkan, “Mata uang yang beredar di kalangan bangsa Arab pada masa Jahiliah adalah emas dan perak, tidak ada yang lain, yang datang dari berbagai kerajaan. Dinar emas Kaisar berasal dari Romawi. Sedangkan menurut maqrizi, dirham perak terdiri atas dua macam, Sauda’ Wafiyah dan Thabariyah ‘Utuq”.
Dirham yang beredar pada saat itu sebenarnya terdiri atas beberapa macam, karena timbangan dirham-dirham itu tidak sama antara satu dengan yang lain. Hanya saja, dirham yang paling terkenal ada dua macam, Dirham Baghli (oleh al-Maqrizi disebut dengan Sauda’ Wafiyah) yang timbangannya adalah 8 (delapan) Daniq dan Dirham Thabari (oleh al-Maqrizi disebut dengan Thabariyah ‘Utuq) yang timbangannya 4 (empat) Daniq. Sedangkan dinar atau mitsqal adalah satuan timbangan yang mereka gunakan untuk menimbang emas. Timbangan mitsqal di kalangan bangsa Arab menurut Al-Qaradhawi (1977, 240) hanya ada satu macam, tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain, yaitu sama dengan 1,7 dirham.
Dalam melakukan transaksi orang Arab pada masa Jihiliah menggunakan beberapa macam timbangan yang berlaku di samping Dirham Baghli dan Dirham Thabari; antara lain Rithl (sama dengan 12 Uqiyah), Uqiyah (sama dengan 40 Dirham), Nishsh atau Nasysy (sama dengan setengah Uqiyah, yaitu 20 Dirham), Nuwah (sama dengan 5 Dirham), Daniq (sama dengan seperenam Dirham atau delapan seperlima butir [habbah] kacang sya’ir sedang), Qirath (sama dengan setengah Daniq), dan Habbah (berbobot satu butir kacang sya’ir sedang).
Sebagaimana disinggung di atas, masyarakat Arab pada masa itu dalam menggunakan uang-uang yang ada, baik dinar emas maupun dirham perak, didasarkan pada timbangannya, bukan pada bilangannya, karena uang-uang tersebut tidak sama timbangannya. Atau lebih tepatnya, mereka tidak membeda-bedakan antara (uang) yang sudah dicetak (madhrub), yang sudah dicap (masbuk) dengan yang masih berupa butiran (tibr). Semua bentuk itu mereka gunakan sebagai uang atas dasar bahwa ia adalah emas atau perak, dan tidak mengharuskan telah dibuat dalam bentuk khusus sebagai uang (resmi).
Ketika Islam datang kegiatan dan sistem transaksi ekonomi yang sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat dengan menggunakan uang-uang yang sudah beredar diakui oleh Nabi SAW. Beliau mengakui uang-uang itu sebagai uang yang sah. Demikian juga, sistem pertukaran barter dan pertukaran dengan barang komoditas tertentu yang diperlakukan sebagai uang (nuqud sil’iyah) seperti gandum, kacang sya’ir dan kurma dibiarkannya sebagaimana sudah berjalan. Sikap Nabi tersebut tercermin dalam hadits Nabi SAW; antara lain: “(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam yang (dilakukan antara) satu jenis (disyaratkan harus) sama (beratnya, dan dengan cara) tangan ke tangan. Apabila (yang diperjualbelikan itu) berbeda jenis, lakukanlah jual beli itu sekehendakmu apabila dengan cara tangan ke tangan” (HR. Muslim dari ‘Ubadah bin al-Shamit).
Dari keterangan di atas nampak bahwa uang yang digunakan oleh umat Islam pada masa Nabi adalah Dirham Perak Persia dan Dinar Emas Romawi dalam bentuk aslinya, tanpa mengalami pengubahan atau pemberian tanda tertentu. Menurut Ibnul Qayyim (dalam I’lamul Muwaqqi’in Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, vol.2/hal144), Nabi pun tidak pernah membuat uang khusus untuk umat Islam. Dengan kata lain, pada masa itu, belum ada apa yang disebut dengan “uang Islam”. Uang Islam atau disebut juga dengan Dinar Islam baru dibuat pada masa berikutnya. Menurut para sejarawan, orang yang pertama kali menerbitkan Dirham dan Dinar untuk diberlakukan di negara Islam adalah Khalifah Bani Umayah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 74 H. Sebelum tahun itu, tidak pernah didapatkan baik dalam buku-buku sunnah (hadits) maupun dalam sejarah Nabi (sirah nabawiyah) keterangan tentang Dinar Islam.
Kebijakan Nabi saw untuk tidak menerbitkan mata uang tertentu, selain karena kesibukannya dalam melakukan dakwah dan jihad, nampaknya merupakan siyasah syar’iah (politik hukum Islam). Sebab, seandainya Nabi memerintahkan agar mata uang yang sudah ada (beredar) sebelum berdiri negara Islam tidak dipakai dan menggantinya dengan mata uang Islam, tentu mata uang Islam tersebut tidak akan diterima oleh masyarakat di luar wilayah Islam; dan hal itu akan menyebabkan umat Islam mengalami kesulitan. Orang yang pergi ke Syria atau ke Yaman, misalnya, tidak bisa mempertukarkan mata uang Islam tersebut dan boleh jadi tidak ada orang yang mau melakukan transaksi menggunakannya.
Sungguhpun Nabi tidak pernah membuat uang tertentu untuk umat Islam, mengingat beliau mengakui dan memberlakukan mata uang emas dan perak yang berlaku di tengah-tengah bangsa Arab, sebagaimana dikemukakan di atas, sebagian besar ulama berpendapat bahwa emas dan perak adalah mata uang Islami (naqd syar’i) bagi negara Islam, dan mata uang emas dan perak tersebut adalah nilai atau harga (tsaman) suatu barang. Bahkan pada masa lalu, bila disebutkan kata nuqud (jamak dari naqd, yakni mata uang) atau atsman (jamak dari tsaman, yakni nilai atau harga) maka yang dimaksudkan adalah emas dan perak, sekalipun belum dicetak.
Pada masa Khalifah Abu Bakar, uang yang berlaku pada masa Nabi tetap diberlakukan sebagaimana adanya, tanpa mengalami pengubahan. Hal ini karena perhatian Khalifah terfokus pada penataan sendi-sendi pemerintahan dan memerangi orang murtad yang merupakan prioritas utama, di samping juga karena masa pemerintahannya yang sangat singkat. Khalifah Umar pun pada masa-masa awal pemerintahannya tetap memberlakukan sistem yang telah berjalan pada masa Abu Bakar. Barulah pada tahun 18 Hijriyah atau tahun keenam dari pemerintahannya, ia mulai memasukkan beberapa kata Arab pada uang Persia dan Romawi yang beredar. Ia membubuhkan namanya pada beberapa dirham dan menuliskan beberapa kata Islami, seperti “Bismillah”, “Al-Hamdu lillah”, “Bismi Rabbi”, Muhammad Rasulullah” dan kata-kata serupa lainnya yang menunjukkan simbol Islam; namun demikian, bentuk uang tersebut masih tetap sama dengan bentuk aslinya sebagai uang asing yang memuat simbol-simbol non Islam. Sebelum itu, Umar pernah berfikir untuk membuat dirham dari kulit unta, namun ketika rencana itu disampaikan, ada pihak yang memberi masukan bahwa jika rencana tersebut dilaksanakan, tentu unta akan habis, dan akhirnya Umar batal melaksanakan rencananya. Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar tersebut merupakan langkah pertama dalam rangka pembuatan uang khusus bagi negara Islam (daulah Islamiyah).
Pada masa Khalifah Utsman dan ‘Ali, kebijakan pembuatan uang masih sama dengan apa yang telah dirintis oleh Umar r.a. Lebih dari itu, Utsman membubuhkan kata “Allahu Akbar” pada uang yang berlaku.
Ketika pemerintahan Bani Umaiyah berdiri, pembuatan uang masih tetap mengikuti jejak para penduhulunya, yaitu memberlakukan mata uang Sasani dan Byzantin dengan membubuhi beberapa simbol Islam, seperti nama khalifah, dan membiarkan simbol non Islam pada uang tersebut. Pada masa-masa awal pemerintahan ini pembuatan uang bukan merupakan otoritas pihak tertentu dalam pemerintahan. Selain khalifah, para gubernur dan pimpinan di daerah-daerah pun membuat uang khusus bagi wilayah masing-masing. Abdul Malik bin Marwan pada tahun 74 dan 75 H. membuat dinar emas dalam jumlah terbatas; dan ia dipandang sebagai khalifah pertama yang membuat dinar emas; Al-Hajjaj pada akhir tahun 75 H. membuat dirham sendiri, Dirham Baghli; Abdullah bin Zubair pun melakukan hal yang sama, membuat dirham sendiri dan membubuhkan namanya (Abdullah Amir al-Mu’minin); demikian pula, saudaranya Mush’ab bin Zubair ketika menjadi gubernur Irak membuat dirham khusus (Lihat, Ibnu Khaldun, 463 dan al-Maqrizi,16-19)
Melihat kenyataan seperti itu Abdul Malik bin Marwan melakukan upaya unifikasi mata uang di seluruh wilayah setelah sebelumnya setiap gubernur membuat uang khusus untuk masing-masing. Selain itu, ia pun membuat kebijakan untuk tidak menggunakan mata uang non Islami dan memerintahkan pembuatan uang Islami oleh institusi pemerintah. Pada tahun 76 H. proyek pembuatan uang khusus Islami yang bersih dari unsur dan simbol-simbol asing mulai dilakukan. Sejak saat itu, untuk pertama kali negara dan pemerintah terlepas dari uang asing. Abdul Malik membuat Dirham perak Islami yang pada salah satu sisinya dituliskan surah al-Ikhlas dan pada sisi lainnya dituliskan simbol tauhid; beratnya adalah 6 (enam) Daniq; demikian juga ia membuat dinar perak Islami yang timbangannya adalah satu mitsqal.
Dengan kebijakan tersebut umat Islam telah memiliki uang tersendiri, yaitu uang yang dibubuhi tulisan-tulisan Islami, dan meninggalkan mata uang asing, Dinar Byzantin dan Dirham Persia yang selama ini dipakai. Kebijakan pembuatan uang Islami seperti itu dilanjutkan oleh pemerintah-pemerintah Islam sesudahnya walaupun terdapat perbedaan-perbedaan antara yang satu dengan yang lain dari sisi kualitas bahan, timbangan, bentuk, dan tulisan yang dibubuhkannya. Kondisi demikian terus berlangsung hingga wilayah-wilayah terlepas dari Daulah Utsmaniyah dan menjadi wilayah kekuasaan koloni. Pada saat itu mulailah uang kertas berlaku di hampir semua wilayah Islam.
Uraian di atas menunjukkan bahwa uang yang pernah berlaku di wilayah Islam tidak hanya berupa emas dan perak. Sejarah mencatat bahwa selain uang emas dan perak murni berlaku pula jenis uang lain, antara lain uang emas dan perak campuran (nuqud maghsyusyah), fulus, dan uang kertas.
Nuqud maghsyusyah adalah mata uang emas atau perak yang dicampur dengan logam kualitas rendah, seperti uang emas yang dicampur dengan tembaga atau perak, dan uang perak yang dicampur dengan tembaga. Umat Islam menyebut uang emas dan perak murni dengan “Jiyad” (berkualitas baik) dan uang emas dan perak tidak murni dengan “Maghsyusyah” (campuran). Uang campuran ini terdiri atas tiga macam, Zuyuf, Nabharajah, dan Satuqah. Zuyuf adalah sebutan untuk uang emas dan perak yang sedikit kadar campurannya; Nabharajah adalah sebutan untuk uang emas dan perak yang lebih dominan kadar campurannya, namun terkadang juga digunakan untuk menyebut uang yang tidak dibuat di tempat atau institusi resmi; sedang Satuqah adalah sebutan untuk uang yang bahan utamanya terdiri dari tembaga namun dicampur sedikit perak. (lihat; Ibn ‘Abidin, vol. 5/ 246; dan al-Fairuzabadi, vol 3/154).
Uang campuran tersebut pada mulanya hanya beredar secara terbatas, kemudian beredar secara luas terutama setelah Khalifah al-Mutawakkil memberlakukannya secara resmi. Namun demikian, mata uang emas dan perak murni tetap berlaku sebagai mata uang resmi dan paling banyak beredar. Selanjutnya, sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keterbatasan persediaan emas dan perak, umat Islam sedikit demi sedikit meninggalkan emas dan perak, beralih menggunakan uang campuran, dan akhirnya menggunakan fulus.
Masyarakat Arab pada masa Jahiliah sebenarnya telah menggunakan uang fulus tembaga dari Byzantin, walaupun dalam jumlah sangat terbatas. Ketika Islam datang, umat Islam pun tetap menggunakannya dalam jumlah terbatas. Bahkan menurut sejarah, Umar bin Khaththab adalah khalifah pertama yang membuat fulus khas Arab pada tahun 18 H. yang sama bentuknya dengan fulus Byzantin, namun dibubuhi nama Umar.
Bukti yang menunjukkan bahwa fulus telah ada dan berlaku di negara Islam pada masa awal adalah fatwa-fatwa sebagian ulama tabi’in (generasi sesudah sahabat) tentang fulus ketika membicarakan masalah-masalah fiqih. Ibrahim al-Nakha’i (w. 96 H.) memberikan fatwa tentang kebolehan melakukan akad salam dengan fulus. Mujahid (w. 102 H) memberikan fatwa bahwa pertukaran satu fulus dengan dua fulus adalah boleh jika dilakukan dari tangan ke tangan. Demikian juga al-Zuhri (w. 124) memberikan fatwa bahwa syarat-syarat sharf (jual beli atau pertukaran uang emas dan perak) berlaku pula pada pertukaran fulus.
Pada masa itu keberadaan uang fulus hanya merupakan uang penunjang yang digunakan untuk melakukan transaksi dalam nilai sedikit, dan bukan merupakan uang utama. Uang emas dan peraklah yang menjadi uang utama di negara Islam. Pada waktu-waktu berikutnya di negara Islam transaksi banyak dilakukan dengan fulus; sehingga fulus menjadi uang yang banyak beredar. Pada abad ketujuh Hijriyah jumlah fulus yang beredar di masyarakat semakin banyak dan menjadi uang yang dominan. Bahkan, pada masa kekuasaan Mamluk dan pada abad ketujuh dan kedelapan Hijriyah, fulus menjadi uang utama (resmi) negara. Gaji pegawai dan pembayaran jasa ditetapkan dan dihitung berdasarkan fulus. Dengan demikian, fulus berubah status dari uang penunjang menjadi uang utama.
Sultan al-Dzahir Burquq (sultan Utsmani, w. 801) pada tahun 781 H. telah membatalkan penggunaan uang perak campuran yang dibuat oleh Sultan al-Dzahir Baibras dan menggantinya dengan fulus tembaga. Bahkan para sultan sangat berlebihan dalam membuat fulus sehingga fulus-fulus itu dijual dengan timbangan Rithl dan tidak memiliki nilai. Akhirnya masyarakat hilang kepercayaan terhadap fulus. Hal tersebut berakibat sangat fatal berupa kehancuran nilai uang.
Mengenai uang kertas sebagaimana dikenal fiat money saat ini dalam bentuk banknote apakah pernah dikenal dan digunakan di negara-negara Islam (pada masa lampau), para ahli berbeda pendapat. Sebagian memastikan bahwa negara Islam tidak pernah menggunakannya, sementara sebagian ahli lain berpendapat bahwa umat Islam telah pernah menggunakannya pada beberapa periode. Kedua belah pihak tersebut mengemukakan argumen untuk mendukung pendapatnya. Wallahu A’lam.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2009/11/4820/sejarah-penggunaan-uang-di-dunia-islam/#ixzz1npxLGlZZ

Garis Finish itu Adalah Kematian


dakwatuna.com – Salah satu Dosen Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Alauddin Makassar sebut saja Quraisy Mathar mendefinisikan bahwa kematian adalah finish, merupakan puncak tertinggi sebuah kehidupan di dunia. Semua orang pasti berlari untuk sampai ke garis finish, jadi tidak perlu takut, tetapi berbanggalah ketika sampai di garis finish tersebut.
Kematian, itu adalah rahasia Allah SWT. Kita terkadang lupa dan menganggap bahwa ajal masih jauh. Apalagi jika kita merasa masih muda, sehat dan kuat. Ingatlah, belum tentu orang yang sakit-sakitan ada dalam urutan awal. Boleh jadi orang yang sehat wal’afiat wafat lebih dahulu. Kita tak boleh lalai bahwa siap atau tidak, kematian pasti datang menghampiri, entah kapan dan di mana.
Kematian, kata ini dalam bahasa Arab disebut    الموت jikalau orang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT mendengar kata ini maka ia akan semakin beriman kepada Allah. Sebab orang yang benar-benar beriman tahu akan tujuan hidup di dunia, ia paham bahwa hidup di dunia hanya sementara.
Ketahuilah bahwa kita hidup di dunia tiada lain hanya untuk menghambakan diri kepada sang Khaliq yaitu Allah SWT yang mengetahui segala apa yang di langit dan di bumi.  Telah disebutkan dalam al-Quran bahwa semua makhluk ciptaan Allah yang mempunyai nyawa semua akan mengalami kematian berikut firmanNYA:
…كل نفس ذائقة الموت
Artinya: “Setiap yang bernyawa itu pasti akan mengalami kematian.” (QS. Ali ‘Imran: 185)
Jika selalu mengingat kematian maka Anda akan senantiasa meluangkan waktu untuk memperbanyak bekal menuju kehidupan kekal abadi yaitu akhirat, sebab di akhiratlah kehidupan yang sebenarnya. Kita hidup di dunia untuk menyembah Allah SWT secara ikhlas sehingga dengan menyembah Allah/melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNYA maka kita akan memperoleh pahala sebagai bekal di kehidupan akhirat kelak. Seorang da’i mengatakan “Janganlah engkau lupakan kematian karena kematian tidak akan pernah melupakanmu” Hal ini sesuai firman Allah dalam al-Quran yang mengatakan:
… أين ما تكو ن يدرككم الموت
Artinya: ”Di mana pun kalian berada pasti kematian akan mendapatkanmu.” (QS. An-nisa Ayat 78)
Ketahuilah wahai saudara-saudaraku kehidupan dunia yang begitu serba canggih apalagi memasuki era globalisasi, era dimana yang jauh menjadi dekat, yang sulit menjadi mudah, orang kulit hitam bisa menjadi kulit putih itulah realita kehidupan sekarang. Terkadang seorang mukmin terlena akan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat jauh lebih baik yaitu kehidupan Surga yang di dalamnya ada bidadari cantik, suci, serta banyak hal yang belum diketahui oleh manusia karena itu adalah rahasia ilahi. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara mencapai kebahagiaan hidup di akhirat……? Di akhirat kelak segala amal perbuatan di dunia baik atau buruk semuanya akan ditimbang, jika amal baik seseorang lebih berat dari pada amal buruk maka ia akan mendapatkan kehidupan yang sejahtera, kehidupan yang lebih baik dari pada kehidupan dunia, akan tetapi jika amal buruknya yang berat maka ia akan dilemparkan ke dalam api neraka yang begitu panas naudzu bilLLAHI min dzalik. Hal ini diterangkan dalam al-Quran:
Artinya: Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas. (QS.Al-Qariah6-11)
Oleh karena itu saya sebagai seorang muslim, mukmin, mengajak kepada semua kaum muslimin untuk senantiasa memperbanyak amal baik, menanam amal baik karena barang siapa yang melaksanakan amal baik sekecil apapun itu maka ia akan melihatnya, begitu pula dengan keburukan, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an:
Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan   melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Az-zalzalah7-8)
Janganlah kita sombong dengan titel, jabatan, harta, kecantikan, karena semua itu adalah hiasan dunia ataupun shilah (penghubung) untuk beribadah kepada Allah SWT, sudah banyak orang yang sombong karena harta yang ia miliki mobil yang mewah, rumah yang mewah semuanya serba mewah. Saudara-saudaraku ingat…..! Jika kematian tiba semua tidak ada yang ikut menemani kita ke alam kubur kecuali amal perbuatan selama di dunia dan dapat dicapai jikalau ilmu, harta,  jabatan, dimanfaatkan di jalan Allah dengan ikhlas, serta  kehidupan surga dapat dicapai dengan ridha Allah SWT.
Orang miskin, orang kaya, orang gila, orang jelek, orang cantik, orang hitam, orang berkulit mulus, kasar dan lain-lain jika sudah mengalami kematian akan diantar ke tempat peristirahatan yang terakhir yaitu pekuburan dengan menggunakan kain kafan bukan baju mahal,  dengan mobil ambulance bukan dengan mobil mewah yang kita miliki. Kesimpulan, apapun yang kita miliki harta, jabatan, title, mari memanfaatkannya di jalan Allah jangan menjadikan sebagai ajang ketakaburan. Sebelum penulis mengakhiri tetesan tulisan ini, beribu-ribu bintang di langit begitulah permohonan maaf kepada pembaca jika dengan hadirnya bacaan ini membuat saudara-saudaraku resah. Tak ada tujuan penulis kecuali saling mengingatkan sebagaimana dikatakan:
فذكر فأن الذكر تنفع للمؤمنين……..
Artinya: Berilah peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat untuk orang-orang yang beriman (Mukmin)’’.
Semoga ulasan ini bermanfaat kepada para pembaca terkhusus kepada seluruh umat Islam, jika terdapat kekeliruan dalam goresan ini mohon dimaafkan karena al-katib dari seribu benteng maroko adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan.
Artikel yang kutulis sebagai penghangat musim salju di Maroko. Semoga bermanfaat.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/03/18545/garis-finish-itu-adalah-kematian/#ixzz1npwQGvrU

Senin, 27 Februari 2012

Waktu Disyariatkannya Membaca Al-Kahfi Pada Hari Jum'at


Waktu Disyariatkannya Membaca Al-Kahfi Pada Hari Jum'at

Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Terdapat beberapa hadits shahih yang menerangkan keutamaan membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum'at dan malamnya. Di antaranya:
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, dari NabiShallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ َقَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
"Siapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia dan Baitul 'Atiq." (HR. Al-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan al-Nasai dan Al-Hakim serta dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 736 dan Shahih al-Jami’, no. 6471)
Masih dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu,
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمْعَةِ أَضَآءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ
"Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi di hari Jum’at, maka akan dipancarkan cahaya untuknya di antara dua Jum'at." (HR. Al-Hakim: 2/368 dan Al-Baihaqi: 3/249. Ibnul Hajar mengomentari hadits ini dalam Takhrij al-Adzkar, “Hadits hasan.” Beliau menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits paling kuat tentang anjuran membaca surat Al-Kahfi. Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih al-Jami’, no. 6470)
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, berkata: RasulullahShallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمْعَةِ سَطَعَ لَهُ نُوْرٌ مِنْ تَحْتِ قَدَمِهِ إِلَى عَنَانِ السَّمَاءَ يُضِيْءُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَغُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ
"Siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka akan memancar cahaya dari bawah kakinya sampai ke langit, akan meneranginya kelak pada hari kiamat, dan diampuni dosanya antara dua Jum'at.
Al-Mundziri berkata: "Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Bakr bin Mardawaih dalam tafsirnya dengan isnad yang tidak apa-apa." (Dari kitab at-Targhib wa al- Tarhib: 1/298)
Kapan Dibacanya?
Disyariatkan membaca surat Al-Kahfi pada malam Jum’at atau pada siang harinya. Dan malam Jum’at diawali sejak terbenamnya matahari pada hari Kamis. Kesempatan ini berakhir sampai terbenamnya matahari pada hari Jum’atnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kesempatan membaca surat Al-Kahfi adalah sejak terbenamnya matahari pada hari Kamis sore sampai terbenamnya matahari pada hari Jum’at.
Imam al-Munawi berkata: Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Amali-nya berkata: Demikian riwayat-riwayat yang ada menggunakan kata “Yaum al-Jum'ah” dan dalam beberapa riwayat lain “lailah al-Jum'ah”Jum’at. Lalu dikompromikan bahwa maksud hari di sini adalah dengan malamnya dan Maksud malam di sini adalah dengan siang harinya." (Faidhul Qadir: 6/199)
Al-Munawi berkata lagi, "Maka disunnahkan membacanya (surat al-Kahfi) pada hari Jum'at dan begitu juga pada malamnya sebagaimana yang dinashkan oleh al-Syafi'i Radhiyallahu 'Anhu." (Faidhul Qadir: 6/198)
Imam Al-Syafi'i rahimahullah dalam Al-Umm menyatakan bahwa membaca surat al-Kahfi bisa dilakukan pada malam Jum'at dan siangnya berdasarkan riwayat tentangnya. (Al-Umm, Imam al-Syafi'i: 1/237).
DR Muhammad Bakar Isma’il dalam Al-Fiqh al Wadhih min al Kitab wa al Sunnah menyebutkan bahwa di antara amalan yang dianjurkan untuk dikerjakan pada malam dan hari Jum’at adalah membaca surat al-Kahfi berdasarkan hadits di atas. (Al-Fiqhul Wadhih minal Kitab was Sunnah, hal 241).
Keutamaan Membaca Surat Al-Kahfi di Hari Jum’at
Dari beberapa riwayat di atas, bahwa ganjaran yang disiapkan bagi orang yang membaca surat Al-Kahfi pada malam Jum’at atau pada siang harinya akan diberikan cahaya (disinari). Dan cahaya ini diberikan pada hari kiamat, yang memanjang dari bawah kedua telapak kakinya sampai ke langit. Dan hal ini menunjukkan panjangnya jarak cahaya yang diberikan kepadanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ
"Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. Al-Hadid: 12)
Balasan kedua bagi orang yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at berupa ampunan dosa antara dua Jum’at. Dan boleh jadi inilah maksud dari disinari di antara dua Jum’at. Karena nurr (cahaya) ketaatan akan menghapuskan kegelapan maksiat, seperti firman Allah Ta’ala:
إن الحسنات يُذْهِبْن السيئات
"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Huud: 114)
Penutup
Dari penjelasan-penjelasan di atas, sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk memiliki kemauan keras untuk membaca surat Al-Kahfi dan menghafalnya serta mengulang-ulangnya. Khususnya pada hari yang paling baik dan mulia, yaitu hari Jum’at. Wallahu Ta’aa a’lam. [PurWD/voa-islam.com]

Untukmu Para Remaja


Untukmu Para Remaja

Tulisan ini dihadiahkan untuk saudara kami para remaja muslim. Semoga Allah berkenan membuka pintu kebaikan lewat kelembutan mata hati teman- teman remaja semua, untuk mengetahui lebih jauh tentang siapa dan bagaimanakah diri kita sebenarnya.
Tulisan ini adalah agar kita sama- sama tidak terlalaikan atas kewajiban sebagai seorang muslim, dan supaya hati kita tidak tertutup dan lalai dengan keindahan kehidupan dari mengingat Allah subhanahu wata’ala. Dengan tulisan ini, kita mohonkan kepada Allah agar membebaskan kita dari berbagai dosa yang tiada henti kita lakukan di dunia ini.
Wahai saudaraku para remaja, ketika hidup ini memiliki tujuan, maka kita tidak akan terombang- ambing tanpa arah dan tujuan. Maka berhentilah berkata bahwa kita masih terlalu muda untuk berpikir serius tentang hidup. Bukankah sesuatu yang besar yang kita harapkan datang di masa depan kelak, dan menyenangkan kita, justru akan bermula dari perbuatan kecil yang kita lakukan sekarang?
Saudaraku, para remaja muslim, maka kenalilah tujuan mengapa kita harus dihidupkan Allah di dunia ini. Sungguh Allah tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia- sia.Begitu pula dengan keberadaan diri kita. Hidup bukanlah tentang bersenang-senang saja, tetapi sejatinya untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya) :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)
Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, itulah sebenarnya tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah.
Wahai saudaraku remaja muslim, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, hidup kita kini sedang menuju sebuah garis akhir yaitu kematian. Dan bahkan peramal sehebat apapun tak akan bisa menebak, kapan langkah kaki kita akan terhenti dan kita akhirnya mati. Dengarlah Firman Allah berikut ini, 
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dibumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Maka suka atau tidak suka, mau atau tidak mau sebenarnya hidup itu bukan pilihan. Ya, hidup bukan sama sekali tentang pilihan. Allah memberikan kebaikan supaya engkau baik, dan Allah memberikan pelajaran tentang kejelekan adalah supaya kau juga belajar tentang kebaikan. Jadi kebaikan adalah satu- satunya hal yang harus dipilih. Dan kebaikan itu hanya terkandung dalam islam, yang sekali lagi satu satunya hal yang harus kita pilih. Di dalam islam kita akan justru menemukan banyak pilihan tentang hal- hal yang membahagiakan. Tapi ingatlah, betapapun besarnya kebahagiaan dan kesenangan di dunia, semua pasti akan ada akhirnya. Dan kesenangan abadi seorang muslim adalah ketika nanti kits berada di surganya Allah.
Maka wahai para sahabat muda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sepenuh hati sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada harikiamat, sebagaimana sabdanya:
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Bisakah kau bayangkan betapa ruginya kita, apabila kita sampai di usia remaja ini, belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Saudaraku, sudah siapkah kita dengan timbangan amal yang pasti, sekali lagi, pasti kita akan menjumpainya nanti. Sudahkah kita menghisab amal perbuatan kita sendiri terlebih dahulu, sebelum Allah nanti menghisap kita dan memperlihatkan timbangan amal kita. Bisakah kau bayangkan, betapa sengsaranya kita, ketika ternyata timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan?. Ingatlah akan firman Allah subhanahu wata’ala :
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11)
Selain itu,bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, sudahkah kita gunakan kesempatan di masa muda kita ini untuk kebaikan?
“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara:
umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi)
Wahai sahabat remaja, iblis, setan, dan bala tentaranya akan selalu setia dalam berupaya mengajak manusia agar selalu bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala. Tidak lain adalah karena mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka.
Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya): “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
wahai sahabat remaja, setiap amalan kejelekan dan maksiat yang kita lakukan, pasti akan dicatat di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti kita juga akan melihat akibat buruk dari semua itu, jika hal itu adalah kejahatan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8)
Setan juga ingin umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama segerombolan orang yang kau anggap teman-teman itu, dan melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala, maka hal tersebut merupakan wujud solidaritas dan kekompakan. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang mungkin kita cintai akan menjadi musuh yang paling kita benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya) :
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)
Maka dari itu, sudah selayaknya kita mengadakan koreksi mendalam tentang diri kita sendiri sekarang. Dan perbaikan diri tentu saja bisa kita lakukan jika kita memiliki ilmu. Saudaraku, jangan gadaikan keharusanmu mengetahui ilmu tentang islam dengan hanya mengunggulkan ilmu tentang duniawi semata. Karena, menuntut ilmu tentang agama kita ini, merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya.
“Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
(NayMa/voa-islam.com)
Tulisan ini dihadiahkan untuk saudara kami para remaja muslim. Semoga Allah berkenan membuka pintu kebaikan lewat kelembutan mata hati teman- teman remaja semua, untuk mengetahui lebih jauh tentang siapa dan bagaimanakah diri kita sebenarnya.
Tulisan ini adalah agar kita sama- sama tidak terlalaikan atas kewajiban sebagai seorang muslim, dan supaya hati kita tidak tertutup dan lalai dengan keindahan kehidupan dari mengingat Allah subhanahu wata’ala. Dengan tulisan ini, kita mohonkan kepada Allah agar membebaskan kita dari berbagai dosa yang tiada henti kita lakukan di dunia ini.
Wahai saudaraku para remaja, ketika hidup ini memiliki tujuan, maka kita tidak akan terombang- ambing tanpa arah dan tujuan. Maka berhentilah berkata bahwa kita masih terlalu muda untuk berpikir serius tentang hidup. Bukankah sesuatu yang besar yang kita harapkan datang di masa depan kelak, dan menyenangkan kita, justru akan bermula dari perbuatan kecil yang kita lakukan sekarang?
Saudaraku, para remaja muslim, maka kenalilah tujuan mengapa kita harus dihidupkan Allah di dunia ini. Sungguh Allah tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia- sia.Begitu pula dengan keberadaan diri kita. Hidup bukanlah tentang bersenang-senang saja, tetapi sejatinya untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya) :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)
Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, itulah sebenarnya tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah.
Wahai saudaraku remaja muslim, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, hidup kita kini sedang menuju sebuah garis akhir yaitu kematian. Dan bahkan peramal sehebat apapun tak akan bisa menebak, kapan langkah kaki kita akan terhenti dan kita akhirnya mati. Dengarlah Firman Allah berikut ini,
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dibumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Maka suka atau tidak suka, mau atau tidak mau sebenarnya hidup itu bukan pilihan. Ya, hidup bukan sama sekali tentang pilihan. Allah memberikan kebaikan supaya engkau baik, dan Allah memberikan pelajaran tentang kejelekan adalah supaya kau juga belajar tentang kebaikan. Jadi kebaikan adalah satu- satunya hal yang harus dipilih. Dan kebaikan itu hanya terkandung dalam islam, yang sekali lagi satu satunya hal yang harus kita pilih. Di dalam islam kita akan justru menemukan banyak pilihan tentang hal- hal yang membahagiakan. Tapi ingatlah, betapapun besarnya kebahagiaan dan kesenangan di dunia, semua pasti akan ada akhirnya. Dan kesenangan abadi seorang muslim adalah ketika nanti kits berada di surganya Allah.
Maka wahai para sahabat muda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sepenuh hati sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada harikiamat, sebagaimana sabdanya:
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Bisakah kau bayangkan betapa ruginya kita, apabila kita sampai di usia remaja ini, belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Saudaraku, sudah siapkah kita dengan timbangan amal yang pasti, sekali lagi, pasti kita akan menjumpainya nanti. Sudahkah kita menghisab amal perbuatan kita sendiri terlebih dahulu, sebelum Allah nanti menghisap kita dan memperlihatkan timbangan amal kita. Bisakah kau bayangkan, betapa sengsaranya kita, ketika ternyata timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan?. Ingatlah akan firman Allah subhanahu wata’ala :
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11)
Selain itu,bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, sudahkah kita gunakan kesempatan di masa muda kita ini untuk kebaikan?
“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara:
Umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi)
Wahai sahabat remaja, iblis, setan, dan bala tentaranya akan selalu setia dalam berupaya mengajak manusia agar selalu bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala. Tidak lain adalah karena mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka.
Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya): “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Wahai sahabat remaja, setiap amalan kejelekan dan maksiat yang kita lakukan, pasti akan dicatat di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti kita juga akan melihat akibat buruk dari semua itu, jika hal itu adalah kejahatan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8)
Setan juga ingin umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama segerombolan orang yang kau anggap teman-teman itu, dan melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala, maka hal tersebut merupakan wujud solidaritas dan kekompakan. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang mungkin kita cintai akan menjadi musuh yang paling kita benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya) :
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)
Maka dari itu, sudah selayaknya kita mengadakan koreksi mendalam tentang diri kita sendiri sekarang. Dan perbaikan diri tentu saja bisa kita lakukan jika kita memiliki ilmu. Saudaraku, jangan gadaikan keharusanmu mengetahui ilmu tentang islam dengan hanya mengunggulkan ilmu tentang duniawi semata. Karena, menuntut ilmu tentang agama kita ini, merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya.
“Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
(NayMa/voa-islam.com)

Hukum Membaca Basmalah Dalam Shalat Saat Membaca Surat Dari Awalnya


Hukum Membaca Basmalah Dalam Shalat Saat Membaca Surat Dari Awalnya

Pertanyaan
Kalau dalam shalat sunnah juga kah membaca Basmalah pada saat membaca surah? Sunnah juga kah membaca T'awudz apabila membaca pertengahan surat dalam shalat? Mohon jawabannya....
Hadi Ishad – Facebook voa-islam.com
Jawaban
Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Jawaban Pertama:
Saat akan membaca surat dari awalnya disunnahkan membaca Basmalah, dan ini bukan wajib. Sedangkan dalam shalat, seorang Mushalli wajib membacanya sebelum membaca Al-Fatihah. Adapun membaca surat sesudah Al-Fatihah, jika memulainya dari awal surat maka disunnahkan memulainya dengan Basmalah, kecuali surat al-Taubah, -karena surat tersebut tidak diawali dengannya-. Jika ia membaca dari pertengahan surat, maka tidak dianjurkan memulainya dengan Basmalah.
. . . jika memulainya dari awal surat -sesudah Al-Fatihah- maka disunnahkan memulainya dengan Basmalah, kecuali surat al-Taubah. . .
Al-Lajnah al-Daimah berkata, "Sunnah menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam membaca Basmalah dalam shalatnya sebelum membaca Al-Fatihah. Juga sebelum membaca surat-surat lainnya, kecuali surat Al-Taubah. Tetapi beliau tidak menjaharkannya (membacanya dengan keras) dalam shalat jahriyahnya Shallallahu 'Alaihi Wasallam. (Fatawa al-Lajnah al-Daimah: 6/378)
Dalam jawaban dari Fatwanya yang lain, Lajnah Daimah berkata: "Al-Tasmiyah (membaca Basmalah) disyariatkan dalam setiap rakaat shalat sebelum surat Al-Fatihah. Dan juga pada setiap surat selain surat Bara'ah (al-Taubah)." (Ibid)
Masih dari Lajnah Daimah dalam Fatawa-nya: "Apabila hendak membaca surat sesudah Al-Fatihah, maka ia membaca Basmalah secara sirr (pelan). Dan apabila hendak membaca apa yang mudah (baginya dari Al-Qur'an) dari pertengahan surat atau akhirnya, maka tidak disyariatkan baginya membaca Basmalah." (Fatawa al-Lajnah al-Daimah: 6/380).
. . Jika ia membaca dari pertengahan surat, maka tidak dianjurkan memulainya dengan Basmalah. .
Jawaban Kedua:
Menjawab pertanyaan serupa, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan: yang nampak bagiku, bahwa bacaan Al-Qur'an dalam surat adalah satu, sehingga isti'adzahnya hanya pada rakaat pertamanya. Kecuali jika terjadi sesuatu yang mewajibkan untuk beristi'adzah (membaca doa perlindungan dari syetan, yakni dengan membaca: A'udzubillaahimnasy Syaithanirrajim). Mislanya saat terasa munculnya was-was (godaan Syetan) pada dirinya, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan kepada seseorang apabila merasakan was-was pada dirinya agar dia meludah ke kirinya tiga kali dan berlindung kepada Allah dari godaan Syetan yang terkutuk. Imam Muslim telah meriwayatkan, Utsman bin Abi al-'Ash Radhiyallahu 'Anhu datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam lalu berkata: "Wahai Rasulullah, sungguh Syetan telah mengganggu shalatku dan bacaanku." Lalu Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Itulah setan yang disebut dengan ‘Khanzab’, jika engkau merasakan kehadirannya maka bacalah ta’awudz kepada Allah dan meludah kecillah ke arah kiri tiga kali." (Majmu' Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin, Jilid 13, Bab: al-Isti'adzah wa al-Basmalah).
Dari jawaban beliau di atas, maka tidak disyariatkan membaca Ta'awudz saat memualai membaca surat -sesudah Al-fatihah- dari tengah surat. Ta'awudznya sudah dicukupkan pada permulaan shalat di rakaat pertama. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]